Pemerintah dinilai belum mampu melindungi dan menyejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir.
Aktivis menilai pemerintah SBY-Boediono telah merampas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.
“Kami melihat adanya lima indikasi kuat terjadinya perampasan dan pengurasan sumber daya laut di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Riza Damanik, Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dalam Konferensi pers yang diadakan di Jakarta, hari ini.
KIARA mencatat dalam dua tahun masa pemerintah SBY-Boediono, pencemaran perairan Indonesia telah mencapai 23.281.799 hektar, di mana pencemaran tersebut terjadi di kawasan Teluk Jakarta yang mencapai 28.500 hektar, kawasan Perairan Laut Timor yang mencapai 9.000.000 hektar, serta kawasan Perairan Bangka Belitung yang mencapai 14.250.000 hektar.
“Meluasnya pencemaran yang terjadi di perairan Indonesia telah mengakibatkan adanya berbagai kesulitan bagi nelayan tradisional, karena dengan meluasnya pencemaran perairan Indonesia maka kerusakan ekosistem laut pun meluas sehingga berdampak pada menurunkan jumlah tangkapan ikan nelayan tradisional,” kata Riza
“Sayangnya, pemerintah tidak berupaya serius untuk menangani hal tersebut. Justru yang terjadi adalah pemerintah memberikan dukungan terhadap praktik pencemaran ekosistem laut dan pesisir pantai dengan mengijinkan adanya aktivitas pertambangan, pemakaian alat tangkap trawl, konversi hutan bakau dan reklamasi di perairan nelayan tradisional,” tambahnya.
Budi Laksana, 32, seorang nelayan asal Cirebon yang juga merupakan anggota Serikat Nelayan Indonesia mengatakan, bahwa pemerintah SBY-Boediono selama ini tidak memberikan bantuan yang tepat kepada para nelayan tradisional.
“Bantuan yang diberikan oleh pemerintah selama ini justru diberikan kepada industri perikanan atau nelayan besar, dan bukan nelayan tradisional. Sedangkan nelayan tradisional tidak mendapatkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan kami,” kata Budi.
Menteri Baru Masih Sarat Kepentingan Partai
“Sayangnya ucapan SBY hanya sebuah pencitraan politik saja karena pada tahun 2010, pemerintah SBY justru meningkatkan harga BBM, sehingga jika sebelumnya kami hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp 1 juta untuk melaut selama satu minggu, kini kami harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1.5 juta,” tutur Budi.
Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa banyak nelayan tradisional Cirebon yang bekerja di kapal nelayan asing dan istri mereka harus bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga karena semakin merosotnya tingkat kehidupan nelayan tradisional.
Selain itu, KIARA mencatat Indonesia telah mengimpor produk perikanan lebih dari 119.682 ton hingga April 2011.
“Impor produk periknanan telah meningkat hingga 35 persen dibandingkan tahun 2010. Di mana dari 40 dari 79 produk impor perikanan tersebut merupakan produk periknanan yang dapat ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia,” kata Riza.
“Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi lintas kementerian dalam mengatur hajat hidup nelayan dan masyarakat pesisir semakin mahal. Bahkan pemerintah SBY-Boediono belum mampu untuk melindungi dan menyejahterakan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir,” tambahnya.
Sementara itu, langkah Presiden SBY untuk mengganti Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dengan Tjitjip Sharif Sutardjo dalam reshuffle KIB II dianggap tidak serius untuk memperbaiki sektor kelautan dan perikanan di Indonesia, karena Tjijip dianggap tidak memiliki prestasi terkait dengan sektor kelautan dan perikanan.
“Kementrian Kelautan dan Perikanan miskin prestasi selama dua tahun terakhir ini, sehingga kementerian ini membutuhkan menteri baru yang professional,” tandas Riza.
“Namun menteri yang baru masih sarat dengan kepentingan partai, ” tutupnya.